Senin, 19 April 2010

Masih Tentang Sarang Burung Walet

Klipping berita untuk diketahui bersama :

Bangunan tinggi menjulang tampak berderet di sepanjang pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa. Bukan rumah penduduk, tapi properti tersebut milik para peternak burung walet.

“Dulu Jawa adalah rajanya untuk perdagangan sarang burung walet. Namun kini mulai susut dan tergantikan oleh Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Tapi meski begitu, secara nasional kita masih penghasil terbesar di dunia dari sejak 200 tahun yang lalu sampai sekarang,” ujar Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI), Wakyudin Husein, Jumat (9/4).

Di Jawa, peternakan walet membentang di pantai Gresik, Tuban, Lamongan hingga Brebes, Tegal, dan Pekalongan di Jawa Tengah. Sampai sekarang, hampir 100% pangsa pasar komoditi ini menyasar pasar ekspor dengan negara tujuan utama China.

Sayangnya, meski perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China telah berlaku sejak 1 Januari 2010, bagi pengusaha sarang walet itu hanya perjanjian abal-abal alias palsu.

Berdasarkan perjanjian FTA, seluruh komoditi Indonesia tidak lagi dikenakan BM saat masuk ke pasar China, kecuali yang ada di sensitive list seperti keramik dan baja. Faktanya, sarang walet dari Indonesia masih dikenakan BM oleh pemerintah sebesar 17%. “Karena itu saya bertanya, apa gunanya ada FTA kalau kondisi di lapangan ternyata seperti ini. Barang China bisa bebas masuk ke Indonesia. Sementara kami dipersulit masuk ke China,” keluh Wahyudin.

Hingga saat ini, menurut Wahyudin, volume ekspor sarang walet ke China mencapai 500 hingga 600 ton tiap tahun dengan harga jual mencapai Rp 19 juta per kilogram. Dengan asumsi itu, maka total transaksi sarang walet Indonesia ke China per tahun sekitar 9,5 triliun. Jika pedagang Indonesia masih dikenakan BM sebesar 17% yang seharusnya sudah 0% sejak berlakunya FTA, maka dipastikan potensi kerugian Indonesia mencapai Rp 1,6 triliun dalam setahun. “Sekarang sudah jalan tiga bulan. Itu sama halnya kita sudah membuang Rp 400-an miliar sejak awal tahun,” keluhnya.

Selain masih dikenakan BM, lanjutnya, pemerintah China hampir selalu mempersulit realisasi ekspor dari Indonesia dengan serangkaian perijinan dan proses administrasi yang berbelit. Ujung-ujungnya, tambah Wahyudin, para eksportir Indonesia harus mengirim barangnya melalui Hongkong dan baru di re-export ke China. “Sepertinya ini juga politik perdagangan China agar edit value ekspor sarang walet Indonesia ke China juga masuk ke Hongkong. Padahal, harusnya kalau bisa langsung masuk ke China, harga yang sekarang sekitar Rp 19 uta per kg bisa menjadi Rp 21 juta per kg. Selama ini selisih Rp 2 juta tersebut masuk ke Hongkong,” urainya.

Pengusaha sarang walet juga harus rela merek dagangnya didzolimi oleh para pengusaha Hongkong. Tiap mengirim sarang walet dari Indonesia ke China, pengusaha Hongkong selalu menggunakan packaging dengan merek mereka. “Alasannya kalau pakai merek Indonesia pasar China tidak mau karena takut flu burung. Padahal kan walet bukan jenis unggas dan dia hidup liar,” tukas Wahyudin.

Anehnya, menurut Wahyudin, kesulitan yang sama tidak berlaku untuk negara-negara ASEAN lain yang juga merupakan penghasil sarang walet. Menurutnya, pemerintah China saat ini telah mau memberlakukan BM 0% untuk sarang walet dari Malaysia, Singapura, Vietnam dan Thailand. “Karena itu saya jadi mempertanyakan bargaining pemerintahan kita dalam perjanjian FTA ASEAN-China ini. Negara lain BM-nya sudah 0%, kenapa kita masih 17%,” tukasnya.

Untuk menghadapi masalah di atas, Wahyudin mengaku bingung harus berkeluh kesah ke mana. “Secara peraturan atau undang-undang, biasanya yang pemerintah setempat terapkan ke kami adalah peraturan dari Dinas Kehutanan. Tapi kalau masalah pembinaan dan budidaya, biasanya kami dilempar ke Dinas peternakan,” urainya.

Namun demikian, saat berurusan dengan Dinas Peternakan, Wahyudin mengaku juga kerapkali disarankan ke Dinas Perdagangan karena menyangkut potensi ekspor. Dinas Perdagangan pun menurutnya selalu lepas tangan karena hanya mengurusi permasalahan perdagangan semata.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar