Kamis, 22 April 2010

Berita Gress dari Kompas

EKONOMI
Kepak "Garuda" Menerobos China
Kamis, 22 April 2010 04:56 WIB
Kekuatan kepak burung Garuda yang menandai kekuatan Indonesia diuji. Di tengah upaya meningkatkan daya saing, China merupakan pasar potensial untuk diterobos pengusaha Indonesia. Seberapa menarikkah China bagi investor?
Peluang tak selamanya mudah diraih. Ada yang merasakan kemudahan, tetapi tak sedikit yang merasa sulit menembus dinding Negara Tirai Bambu tersebut.
Komponen investasi, khususnya investasi asing secara langsung (FDI), sangat banyak. Dalam enam bulan terakhir ini, FDI ke China terus naik, mencapai nilai total 8,1 miliar dollar AS.
Apa sebenarnya yang menarik investor asing? Bagaimana Pemerintah China memperlakukan investor asing? Dan, apa pelajaran yang dapat dipetik dari kebijakan Pemerintah China?
Ketua Indonesian Business Association Shanghai Adi Harsono menyebutkan, faktor yang menarik investor asing ke China antara lain pangsa pasar yang sangat besar, iklim investasi yang kondusif, seperti peraturan investasi, infrastruktur, dan sikap pemerintah yang proaktif, serta tersedianya sumber daya manusia yang berlimpah.
”Umumnya, investor asing diperlakukan sangat baik. Mereka dijemput, bukan ditunggu. Mereka disambut red-carpet. Mereka diperlakukan layaknya sebagai investor yang akan mendongkrak ekonomi dan menciptakan lapangan kerja,” kata Adi.
Adi memandang pelajaran yang perlu diambil dari China adalah sikap ”jemput bola”. Pemerintah Indonesia perlu jemput bola dengan memangkas aturan rumit birokrasi, mempermudah perizinan, dan ikut membantu investor memberesi masalah lahan tanah dan masalah perburuhan.
Dia mengingatkan bahwa tidak semua pengusaha Indonesia sukses di China, terutama usaha kecil dan menengah
Indonesia akan sulit berkompetisi dengan China. Pengusaha Indonesia yang sukses biasanya adalah pengusaha yang sudah mapan dengan manajemen yang kuat.

Pengusaha bicara
CEO Garudafood Sudhamek AWS pun angkat bicara. Potensi pasar China luar biasa. Kesenjangan sosial diatasi Pemerintah China dengan cara melakukan reformasi pertanahan, subsidi bagi warga desa (sebesar 55 persen dari penduduk China masih berada di pedesaan), dan pemberian insentif besar-besaran sehingga kesejahteraan rakyat meningkat dan industri dalam negeri berkembang pesat.
Melihat potensi itu, Garudafood masuk untuk berinvestasi dengan cara mengakuisisi salah satu perusahaan, tepatnya di Xiamen, China. Kantor pemasaran ini dibuka untuk membidik pasar China dan sebagai basis untuk ekspor ke negara lain.
”Tetapi, kita juga perlu belajar smart protection dari China. Produk Garudafood tak bisa serta-merta masuk ke gerai-gerai kecil, seperti toko di sekolah,” kata Sudhamek.
Meski insentif sudah tidak banyak lagi, China tetap menarik bagi investor. Pengusaha melihat potensi pasarnya. Biskuit, misalnya. Total pasar di Indonesia mencapai Rp 12 triliun, sementara pasar China bisa mencapai Rp 80 triliun.
”Persoalan cita rasa makanan juga sangat menentukan untuk bisa diterima konsumen China,” ujar Sudhamek.
Sekitar 50 persen konsumsi semen dunia berada di China. Begitu pula baja 30 persen serta kapal pesiar dan jet pribadi 12 persen. Di China kini bermunculan orang-orang black color, pengusaha yang kerap berpakaian serba hitam, termasuk kartu kreditnya. Pekerjaannya tidak jelas, tetapi mereka jagoan melobi bisnis.
Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI) Bidang Perdagangan Boedi Mranata mengaku sulit memasuki pasar China. Produk sarang burung Indonesia masih dituding membawa virus flu burung (avian influenza). Padahal, potensi sarang burung Indonesia sebanyak 80 persen dipasok untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia, antara lain China, Hongkong, Amerika Serikat, Singapura, Malaysia, dan Jepang.
”Pedagang eceran di China sih secara terang-terangan bilang sarang burung Indonesia sangat bagus dan banyak dicari konsumen,” kata Budi.
Larangan produk sarang burung Indonesia memasuki pasar China dilakukan oleh satu pintu, yaitu Department of Supervisions on Animal and Plant Quaratine of General Administration of Quality Supervision Inspection and Quarantine.
Apabila virus H5N1 dijadikan alasan, Budi secara tegas membantah. Pola hidup burung walet sangat jarang berelasi dengan unggas lain. Kemudian, sarang burung dihasilkan dari air liur walet dan prosesnya pun dikeringkan terlebih dahulu. Begitu pula sarang burung itu diproses dengan cara dimasak sehingga virus dipastikan mati.
Setiap tahun, total ekspor sarang burung walet diperkirakan mencapai 400 ton. Sekitar 250 ton diekspor ke China, tetapi ekspor dilakukan melalui negara-negara lain. ”Kalau pintu ekspor bisa dibuka oleh China, harga sarang burung Indonesia tentu bisa sangat kompetitif dibandingkan dengan negara lain,” ujar Budi.
Bagi Indonesia, menurut Budi, dari total nilai ekspor ke China yang mencapai 14 miliar dollar AS, kontribusi yang diberikan sarang burung walet sekitar 4 persen. Tentu, apabila China mengizinkan impor langsung, sarang burung walet bisa masuk sepuluh besar andalan ekspor Indonesia.
Direktur JSP Toys Factory Fakhrudin selaku produsen mainan anak-anak di Demak, Jawa Tengah, mengatakan, citra ”Made in China” memang sudah merekat di seluruh dunia. Karena itu, tanpa perlu bersaing di pasar China, potensi pasar mainan anak sesungguhnya tetap terserap di seluruh dunia.
Bagi Fakhrudin, China merupakan tempat untuk belajar melihat tren pasar. Berbagai model mainan terus diciptakan. ”Jangan dikira semua mainan anak-anak asal China murah. Sentuhan teknologi sudah membuat mainan tertentu tinggi,” kata Fakhrudin, yang bolak-balik ke China.
Itulah sebuah jalan yang sesungguhnya bisa dijadikan pilihan investor Indonesia lainnya!(osa)

Senin, 19 April 2010

Masih Tentang Sarang Burung Walet

Klipping berita untuk diketahui bersama :

Bangunan tinggi menjulang tampak berderet di sepanjang pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa. Bukan rumah penduduk, tapi properti tersebut milik para peternak burung walet.

“Dulu Jawa adalah rajanya untuk perdagangan sarang burung walet. Namun kini mulai susut dan tergantikan oleh Kalimantan, Sumatera dan Sulawesi. Tapi meski begitu, secara nasional kita masih penghasil terbesar di dunia dari sejak 200 tahun yang lalu sampai sekarang,” ujar Ketua Asosiasi Peternak dan Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI), Wakyudin Husein, Jumat (9/4).

Di Jawa, peternakan walet membentang di pantai Gresik, Tuban, Lamongan hingga Brebes, Tegal, dan Pekalongan di Jawa Tengah. Sampai sekarang, hampir 100% pangsa pasar komoditi ini menyasar pasar ekspor dengan negara tujuan utama China.

Sayangnya, meski perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China telah berlaku sejak 1 Januari 2010, bagi pengusaha sarang walet itu hanya perjanjian abal-abal alias palsu.

Berdasarkan perjanjian FTA, seluruh komoditi Indonesia tidak lagi dikenakan BM saat masuk ke pasar China, kecuali yang ada di sensitive list seperti keramik dan baja. Faktanya, sarang walet dari Indonesia masih dikenakan BM oleh pemerintah sebesar 17%. “Karena itu saya bertanya, apa gunanya ada FTA kalau kondisi di lapangan ternyata seperti ini. Barang China bisa bebas masuk ke Indonesia. Sementara kami dipersulit masuk ke China,” keluh Wahyudin.

Hingga saat ini, menurut Wahyudin, volume ekspor sarang walet ke China mencapai 500 hingga 600 ton tiap tahun dengan harga jual mencapai Rp 19 juta per kilogram. Dengan asumsi itu, maka total transaksi sarang walet Indonesia ke China per tahun sekitar 9,5 triliun. Jika pedagang Indonesia masih dikenakan BM sebesar 17% yang seharusnya sudah 0% sejak berlakunya FTA, maka dipastikan potensi kerugian Indonesia mencapai Rp 1,6 triliun dalam setahun. “Sekarang sudah jalan tiga bulan. Itu sama halnya kita sudah membuang Rp 400-an miliar sejak awal tahun,” keluhnya.

Selain masih dikenakan BM, lanjutnya, pemerintah China hampir selalu mempersulit realisasi ekspor dari Indonesia dengan serangkaian perijinan dan proses administrasi yang berbelit. Ujung-ujungnya, tambah Wahyudin, para eksportir Indonesia harus mengirim barangnya melalui Hongkong dan baru di re-export ke China. “Sepertinya ini juga politik perdagangan China agar edit value ekspor sarang walet Indonesia ke China juga masuk ke Hongkong. Padahal, harusnya kalau bisa langsung masuk ke China, harga yang sekarang sekitar Rp 19 uta per kg bisa menjadi Rp 21 juta per kg. Selama ini selisih Rp 2 juta tersebut masuk ke Hongkong,” urainya.

Pengusaha sarang walet juga harus rela merek dagangnya didzolimi oleh para pengusaha Hongkong. Tiap mengirim sarang walet dari Indonesia ke China, pengusaha Hongkong selalu menggunakan packaging dengan merek mereka. “Alasannya kalau pakai merek Indonesia pasar China tidak mau karena takut flu burung. Padahal kan walet bukan jenis unggas dan dia hidup liar,” tukas Wahyudin.

Anehnya, menurut Wahyudin, kesulitan yang sama tidak berlaku untuk negara-negara ASEAN lain yang juga merupakan penghasil sarang walet. Menurutnya, pemerintah China saat ini telah mau memberlakukan BM 0% untuk sarang walet dari Malaysia, Singapura, Vietnam dan Thailand. “Karena itu saya jadi mempertanyakan bargaining pemerintahan kita dalam perjanjian FTA ASEAN-China ini. Negara lain BM-nya sudah 0%, kenapa kita masih 17%,” tukasnya.

Untuk menghadapi masalah di atas, Wahyudin mengaku bingung harus berkeluh kesah ke mana. “Secara peraturan atau undang-undang, biasanya yang pemerintah setempat terapkan ke kami adalah peraturan dari Dinas Kehutanan. Tapi kalau masalah pembinaan dan budidaya, biasanya kami dilempar ke Dinas peternakan,” urainya.

Namun demikian, saat berurusan dengan Dinas Peternakan, Wahyudin mengaku juga kerapkali disarankan ke Dinas Perdagangan karena menyangkut potensi ekspor. Dinas Perdagangan pun menurutnya selalu lepas tangan karena hanya mengurusi permasalahan perdagangan semata.

Senin, 12 April 2010

Berita Baru dari Kompas

Jumat, 09 April 2010
Wah.. Pajak Sarang Walet ke China Masih 17 Persen
SURABAYA,KOMPAS.com - Meski perjanjian pasar bebas ASEAN-China telah berlaku sejak Januari lalu. Namun, hingga saat ini ekspor sarang walet ke China masih terkena pajak sebesar 17 persen. Padahal potensi ekspor sarang walet Indonesia mencapai 500 ton hingga 600 ton per tahun dengan nominal sekitar Rp 7,5 triliun.

"Pemberlakukan pajak ekspor sebesar 17 persen ke China sangat disesalkan para peternak dan pedagang sarang walet. Ini sangat ironis karena negara-negara anggota ASEAN lainnya seperti Malaysia, Singapura, Vietnam, dan Thailand dapat mengekspor sarang walet ke China tanpa terkena pajak," kata Ketua Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI) Wahyudin Husein, Jumat (9/4/2010) di Surabaya.

Dengan adanya tarif pajak sebesar 17 persen, para peternak dan pedagang sarang walet terpaksa mengekspor sarang walet melalui Hongkong. Ekspor sarang walet melalui Hongkong memiki konsekuensi berkurangnya harga sekitar Rp 2 juta per kilogram.

Harga sarang walet bersih berkisar Rp 16 juta hingga Rp 19 juta per kilogram. Karena melewati Hongkong, harga tersebut dipotong Rp 2 juta tiap kilogram menjadi rata-rata Rp 14 juta per kilogram hingga Rp 17 juta per kilogram. "Apabila tak ada pajak ekspor, sebenarnya harga sarang walet akan lebih mahal jika langsung diekspor ke China. Tapi, hingga sekarang China masih bersikeras untuk menerapkan pajak sebesar itu pada produk sarang walet dengan alasan Indonesia belum terbebas dari virus flu burung," ujarnya.

Wahyudin khawatir, mekanisme ekspor sarang walet yang musti melewati Hongkong justru menjadi alat politik dagang bagi pemerintah China. Ekspor sarang walet dari Indonesia ke Hongkong otomatis akan memberikan pemasukan devisa bagi Hongkong.

Saat ini, sebagian besar bahan baku sarang burung walet Indonesia justru diberi label produk Hongkong. Padahal, sebagian besar sarang walet itu berasal dari Indonesia.

Campur tangan pemerintah

Menyikapi masalah ini, APPSWI meminta Kementrian Perdagangan untuk memperjuangkan agar ekspor sarang walet ke China tak dibebani pajak seperti halnya produk-produk ekspor lainnya. "Kami juga berharap atase perdagangan Indonesia di China dapat berkomunikasi dengan asosiasi peternak dan pedagang sarang walet untuk menyelesaikan persoalan ini," kata dia.

Apabila ekspor sarang burung walet akhirnya dibebaskan dari pajak, para peternak dan pengusaha mengharapkan pemerintah memberlakukan aturan atau pembatasan agar sarang burung walet tak diekspor dalam bentuk bahan baku.

Alasannya, proses pengolahan bahan baku sarang walet menyerap tenaga kerja besar hingga mencapai 200.000 orang per hari. "Jika tak ada pembatasan seperti itu, maka orang China akan semakin leluasa mengambil bahan baku sarang burung walet ke Indonesia dan parahnya banyak tenaga kerja yang harus hilang karena proses pengolahan bahan baku berpindah ke China," ucapnya.

sumber: http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2010/04/09/21045337/Wah...Pajak.Sarang.Walet.ke.China.Masih.17.Persen
Diposkan oleh nelolov di 22:02

Berita Asosiasi


Masalah Khusus Tentang Perdagangan Sarang Walet :

CAFTA Tiongkok Diminta Terima Sarang Walet RI

Istimewa
Menteri Perdagangan Tiongkok Chen Deming (kiri) dan Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI) Boedi Mranata dalam pertemuan pembahasan ekspor di Yogyakarta, baru-baru ini.
[JAKARTA] Indonesia sebagai negara penghasil sarang burung walet terbesar di dunia ingin dapat mengekspor langsung sarang burung walet ke Tiongkok tanpa melalui negara ketiga. Hal itu untuk mengurangi kebergantungan pada negara perantara dan bisa mendongkrak nilai ekspor Indonesia secara signifikan.
“Sepuluh tahun terakhir ini, kita sulit mengekspor langsung sarang burung walet ke Tiongkok. Padahal, perdagangan komoditas itu sudah berlangsung 500 tahun lalu,” kata Ketua Bidang Perdagangan Asosiasi Peternak Pedagang Sarang Walet Indonesia (APPSWI) Boedi Mranata di Jakarta, Jumat (9/4).
Dikatakan, Indonesia tidak bisa langsung mengekspor sarang burung walet karena isu flu burung (H5N1). Sementara itu. Filipina, Malaysia, dan Singapura, boleh langsung mengekspor komoditas itu ke Tiongkok. Indonesia terpaksa menggunakan jasa tiga negara itu atau lewat Hong Kong untuk masuk ke pasar Tiongkok.
Persoalan ekspor langsung itu juga dibahas dalam pertemuan perjanjian per- dagangan bebas China-ASEAN Free Trade Agreement (CAFTA) di Yogyakarta, baru-baru ini. Saat itu, hadir Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan Mendag Tiongkok Chen Deming. Mari meminta Deming agar sarang burung walet Indonesia bisa diekspor langsung ke Tiongkok.
Boedi menyambut gembira pernyataan Mari terhadap kasus ekspor sarang burung walet Indonesia. “Mendag menaruh perhatian be-sar terhadap kasus ini,” kata Boedi.
Pada kesempatan itu, Chen Deming menyatakan, pada prinsipnya pihaknya setuju dan akan mengirim Badan pengawasan, inspeksi, dan karantina Tiongkok (AQSIQ) untuk menindaklanjuti permasalahan itu.
Boedi melanjutkan, jika Tiongkok menerima usulan Indonesia, maka ekspor sarang burung walet nasional diperkirakan naik 50-100% dari total ekspor nasional selama 2009 mencapai US$ 226 juta.
Artinya, devisa yang bisa dinikmati Indonesia dari komoditas ini bisa mencapai US$ 400 juta yang berarti masuk 10 besar andalan ekspor nonmigas Indonesia. Tiongkok juga diuntungkan karena harga komoditas ini menjadi lebih murah karena tidak ada lagi biaya pihak ketiga.
Produksi 80%
Indonesia tahun lalu memproduksi sekitar 70-80% dari total produksi sarang burung walet dunia. Sementara Tiongkok menyerap lebih dari 60% total perdagangan sarang burung walet dunia.
Selain ke Tiongkok, Indonesia juga mengekspor sarang burung walet ke Hong Kong, Taiwan, Singapura, Malaysia, AS, dan Kanada.
Menurut data BPS, tahun lalu Indonesia mengekspor sarang burung walet ke Singapura sebesar US$ 61,27 juta. Singapura kemudian mengekspornya ke Tiongkok.
Menurut Boedi, isu virus H5N1 sangat merugikan bisnis walet Indonesia. Padahal, hasil pemeriksaan tidak pernah sekalipun walet terjangkit virus H5N1. Ini terkait cara hidup walet yang tak pernah hinggap dan kontak dengan unggas atau burung liar lainnya.
Tiongkok mensyaratkan, komoditas itu harus dipanaskan minimal 70 derajat celcius selama 3,5 detik. Dengan demikian mengatasi virus H5N1 tidak susah.
“Dengan penanganan standar itu, Tiongkok seharusnya tidak perlu khawatir terhadap produk ekspor sarang walet dari Indonesia,” katanya.[M-6]